Mengapa Allah Swt menggunakan kata ganti laki-laki (dhamir) untuk
diri-Nya dalam al-Qur’an?
Sebab
mengapa Allah Swt al-Qur’an menggunakan kata ganti orang ketiga laki-laki untuk
diri-Nya adalah lantaran al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab dan penggunaan
kata ganti laki-laki (dhamir, pronomina) bagi Allah Swt telah sesuai dengan
kaidah dan sastra bahasa Arab. Karena Allah Swt bukan muannats (feminim) hakiki
dan juga bukan mudzakkar (maskulin) hakiki dan juga tidak menggunakan
penggunaan qiyâsi (mengikuti kaidah tertentu) dan simâi muannats majâzi
(figuratif). Karena itu, berdasarkan kaidah bahasa Arab yang harus digunakan
untuk Zat Allah Swt adalah kata ganti-kata ganti dalam bentuk maskulin
figuratif (mudzakkar majâzi). Di samping itu, tanda-tanda literal maskulin dan
feminin bukan sebagai penjelas kedudukan dan derajat yang mengandung nilai
(value).
Bahasa
al-Qur’an adalah bahasa Arab. Bahasa Arab berbeda dengan bahasa-bahasa lainnya
menggunakan dua jenis kata ganti dan pronomina (dhamir) orang ketiga laki-laki
(mudzakkar) dan kata ganti orang ketiga perempuan (muannats). Suatu hal yang
natural bahwa setiap buku atau kitab yang ingin ditulis menggunakan bahasa ini,
kendati ia merupakan kitab Ilahi, maka ia harus mengikuti kaidah-kaidah bahasa
tersebut dan gramatikanya.
Bahasa
Arab, karena tidak memiliki kata ganti orang ketiga waria (khuntsa), sebagian
hal yang tidak memiliki jenis kelamin dinyatakan dengan kata ganti orang ketiga
laki-laki (dhamir mudzakkar). Namun, yang semisal dengan masalah ini, juga
terdapat dalam bahasa-bahasa yang lain, seperti bahasa Prancis. Dengan
bersandar pada poin ini dapat diambil kesimpulan bahwa pernyataan kata ganti
orang ketiga laki-laki, sama sekali tidak ada kaitannya dengan sifat
kelaki-lakian.
Pada
kenyataannya, dapat dikatakan bahwa al-Qur’an tidak didominasi oleh pandangan
patriarkial yang berkembang pada budaya zamannya, melainkan sebuah tipologi
bahasa yang mengkondisikan pembicaranya supaya memperhatikan dan mematuhi hal
tersebut. Karena itu, al-Qur’an, dengan
alasan diturunkan dan diwahyukan dalam bahasa Arab, bertutur kata dengan wacana
ini dan menggunakan pronomina-pronomina dan redaksi maskulin (mudzakkar) yang
selaras dan sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab.
Dengan
kata lain, dari satu sisi, dalam bahasa Arab, nomina-nomina (asmâ) dan
verba-verba (af’âl) (selain verba kata ganti orang pertama tunggal [mutakkalim
wahdah] dan kata ganti orang pertama jamak [mutakallim ma’a al-ghair]) memiliki
dua jenis: laki-laki atau maskulin (mudzakkar) dan perempuan atau feminin
(muannats). Maskulin dan feminin ini terbagi lagi menjadi hakiki dan majâzi
(figuratif). Seluruh entitas yang memiliki alat kelamin pria dan wanita adalah
maskulin dan feminin hakiki (mudzakkar dan muannats hakiki). Selainnya adalah
figuratif (majâzi).
Maskulin
hakiki seperti “rajul” (pria) dan “jamal” (unta jantan). Feminin hakiki seperti
“imraat” (wanita) dan “naqah” (unta betina). Maskulin figuratif (mudzakkar
majazi) seperti “qalâm” (pena) dan “jidâr” (dinding). Feminin figuratif (muannats
majazi) seperti “dâr” (rumah) dan “ghurfah” (kamar). Penggunaan muannats majazi
dalam hal-hal seperti nama-nama kota, anggota badan yang berpasangan memiliki
kaidah dan dalam hal-hal lainnya tidak mengikut kaidah tertentu (qiyâsi) dan
bersifat simâi. Simâi artinya bahwa yang menjadi kriteria adalah semata-mata
mendengar orang-orang yang berbahasa Arab dan harus diperhatikan orang-orang
Arab menggunakannya dalam bidang apa. Apabila hal tersebut bukan termasuk
muannats hakiki dan muannats majâzidan juga bukan mudzakkar hakiki maka
tentulah ia merupakan mudzakkar majâzi. Sharf Sâdeh, hal. 28 dan 145.
Dari
sisi lain, karena Allah Swt tidak melahirkan juga tidak dilahirkan. Demikian
juga tiada yang menyerupainya [Lam yalid wa lam yulad (Qs. Al-Ikhlas [114]:3).
Laisa kamitsli syai (Qs. Al-Syura [42]:11) ] dan juga bukan termasuk hal-hal
yang terkait dengan penggunaanqiyâsi (mengikuti kaidah tertentu) dan simai
muannats majâzi. Karena itu, berdasarkan kaidah bahasa Arab yang harus
digunakan untuk Zat Allah Swt adalah kata ganti-kata ganti, nama-nama dan
sifat-sifat dalam bentuk mudzakkar majâzi (maskulin figuratif).
Poin
ini juga harus mendapat perhatian bahwa tanda-tanda literal muannats dan
mudzakkar tidak mengandung nilai tertentu dan tidak menunjukkan tanda dan dalil
atas kemuliaan dan kedudukan seseorang. Karena itu, apabila tanda-tanda literal
mudzakkar, menunjukkan kemuliaan dan kedudukan tertentu seseorang, dan memiliki
nilai tertentu, maka untuk selain
manusia dan sebagian makhluk rendah seperti setan dan iblis... tidak boleh
menggunakan kata kerja-kata kerja atau nomina-nomina atau pronomina-pronomina
dan seterusnya yang memuat tanda-tanda literalmudzakkar.
Demikian
juga, apabila tanda-tanda literal muannats merupakan dalil dan tanda kekurangan
dan minus nilai maka entitas-entitas yang sarat nilai seperti matahari (syams),
bumi (ardh), kaum pria (al-Rijal), air (ma’) dan sebagainya dan sebaik-baik
perbuatan dan kedudukan seperti sembahyang (shalat), zakat, surga (jannat)
tidak akan dinyatakan dalam bentuk literal muannats.