KONSEP IJMA’ DAN ISTISHABUL HAL DALAM ILMU USHULUNNAHWI
Oleh : Rizqi Fauzi Yasin
A. PENDAHULUAN
Secara etimulogi kata Nahwu merupakan bentuk mashdar (Infinity)
dari "نحا –ينحو-نحوا" yang berarti condong,
cenderung,dan menuju atau bermaksud.
Bentuk jamak atau plural Nahwu adalah "أنحاء" yang berati
arah, sisi, seksi, devisi, bagian, Jalan, metode, fasyen (model), sama dengan,
contoh, dan seperti.
Dalam penjelasan gramatikal, nahwu sering digunakan dalam arti: Contoh atau
seperti. “Contoh atau seperti” adalah ekpresi untuk menyatakan sesuatu (kaidah)
yang dituju atau dikehendaki agar maksudnya menjadi jelas dan mudah dipahami.
Jadi Nahwu secara etimulogi atau bahasa merupakan suatu contoh yang dituju atau
dikehendaki sesuai kaidah yang menjadi acuan.
Adapun secara Terminologi menurut para ahli dibidang
Nahwu didefinisikan secara beragam sesuai dengan perspektif yang digunakan.
Para Ahli Nawhu atau Nuhat mendefinisikan Nahwu sebagai ilmu yang mempelajari keadaan
akhir kata baik ketika I’rab (Terjadi perubahan bunyi akhir suatu kata)
maupun bina’ (tidak terjadi perubahan bunyi akhir, statis).
Senada dengan definisi tersebut, Nahwu adalah ilmu yang mempelajari perubahan
akhir sesuai dengan ‘Awamil (Penyebab perubahan) yang ada. Kedua definisi
tersebut lebih cenderung membatasi bahasan penelitian nahwu pada aspek bunyi
kata (I’rab) dan kebergantungan itu pada amil. Padahal tidak demikian
karena selain maslah i’rab masih banyak nahwu yang relative belum menjadi fokus
kajian.
Nahwu sebagai suatu disiplin keilmuan muncul pertama kali
pada abad I di Bashroh atas prakarsa Abu al-Aswad al-Adualy. Nawhu merupakan ilmu yang lebih
muncul dibanding dengan ilmu-ilmu bahasa Arab lainnya (Allamah, 1993: 15).
Tanda-tanda bacaan yang telah dirumuskan oleh Abu al-Aswad al-Aduali pada
mulanya sangat sederhana yaitu hanya berupa pemberian titik-titik (Nuqtah)
sebagai tanda bacaan (Fatah, Kasrah, dan dhamah) pada mushaf al-qur’an
(Al-Asad, 1992: 53) Selanjutnya ada Khalil Bin Ahmad Al-Farahidi menyempurnakan
tanda bacaan tersebut dengan memberi tanda Fathah, Kasrah, dan dhamah pada
akhir kalimat untuk menjelaskan makna dengan lafadz, perubahan suatu kata dalam
struktur kalimat yang berimplikasi pada
perubahan makna gramatikal dalam sejarah Ilmu Nahwu selanjutnya lebih dikenal
dengan istilah ‘alam i’rab (tanda akhir pada setiap kata) (Hasan, 2000:28).
Ushulunnahwi dalam kajian Nahwu Arab mempunyai kesamaan
dengan Ushul Fiqih dalam kajian Fiqih. Dalam kajian Ushulunnahwi terdapat
addilah al-Nahwiyyah, sedangkan dalam Kajian Ushul Fiqih terdapat dikenal
istilah Adillah Al-Ahkam yang mana fungsi keduanya sama digunakan dalam
menetapkan hukum.
Seperti dikemukakan Abd. Al-majid Muhammad Al-Khowafi
ahli hukum Islam yang berkebangsaan Mesir, ada empat yaitu Al-Qur’an, Sunah,
Ijma’ dan Qiyas.
Ushulunnahwi pun sama dalam hal demikian memiliki sumber Al-Qur’an, Sunah,
Ijma’, Qiyas, dan Ishtishabul Hal sebagai mana yang telah disepakati Ulama’
Bashrah dan Kufah. Senada yang dikatakan Muhib Abdul Wahab, bahwa Nahwu secara
epistimulogis merupakan sebuah ilmu yang telah memenuhi kriteria sebagai sistem
pengetahuan yang ilmiah karena didasari dengan prinsip-prinsip dan dalil-dalil
epistimulogis (teori ilmu pengetahuan) seperti As-sima’, al-qiyas, al-ijma’,
dan Istishaab al-haal.
Melihat banyak pendapat yang diasumsikan terkait Ijma’,
Qiyas, dan ishtishabul Hal dikalangan para Ulama’. Dalam makalah ini akan
dibahas beberapa ulasan tentang Ijma’ dan Ishtishabul Hal yang meliputi
definisi, konsep-konsep, serta contoh produk dan perdebatan Ulama’ bahasa
tentang ijma’ dan ishtishabul hal.
B. PEMBAHASAN
1. Ijma’
a. Definisi
Ijma’ secara etimulogi (bahasa) mempunyai dua makna "العزم على الأمر" (Hasrat pada suatu
perkara) dan yang lain ada "الإتفاق" (kesepakatan)
perbedaan diantaranya kedua arti diatas bahwa pendapat yang pertama
memungkinkan cuma ada satu kejadian, sedangkan untuk arti yang kedua yang mana
tidak memungkinkan cuma ada satu kejadian tapi seharusnya ada dua atau lebih.
Sedangkan pengertian Ijma’ secara terminologi (Istilah)
adalah kesepakatan para ulama’ mujtahid pada suatu masa setelah wafat
Rasulullah SAW atas hukum syar’i.
Menurut para linguis Arab Ijma’ berarti (إجماع نحاة البلدين
البصرة الكوفة) Kesepakatan Ulama’ Bashrah dan Kuffah.
Para linguis tersebut memperbincangkan hal ini serta menjelaskan syarat- syarat
penghujjahan menggunakan Ijma’.
Ibnul Jinni dalam buku yang ditulisnya Al-Khashaish
mendefinisikan Ijma’ :
"الإجماع
هو إجماع أهل البلدين- البصرة والكوفة- وهو حجة إذا اعطاك خصمك يده الا تخالف
المنصوص والمقيس على المنصوص، فأما إن لم يعط يده بذلك، فلا يكون إجماعهم حجة
عليه".
“Kesepakatan ulama’ dua
kota yakni Bashrah dan Kuffah dan kesepakatan itu boleh menjadi hujjah (alasaan)
bila orang lain mengakui bahwa hal itu tidak bertentangan dengan nash dan yang
diqiyaskan kepada nash. Namun bila tidak ada pengakuan, maka ijma’ tersebut
tidak dapat dihujjahkan”
b. Konsep
Para ulama’ nahwu mengambil dalil dengan
menggunakan ijma’ dalam menetapkan hukum nahwiyah atau menjawab
perdebatan argumentasi nahwiyah.
Sebagaimana Penghujjahan dalam ilmu Ushul Fiqih, ijma’ dalam Ushulunnahwi
memiliki konsep yang tidak berbeda, diantaranya sebagai berikut:
1) Disepakati para mujtahid. Dan tidak berdasarkan
kesepakatan maupun penyangkalan orang ‘awwam atau orang yang belu mencapai derajat
mujtahid. Karena mereka tidak tidak profesional berpendapat dalam
mengetahui mengetahui hukum-hukum syar’i . Dalam hal ini meskipun beberapa
priode terdapat para mujtahid yang tidak membenarkan ijma’. Jikapun dijumpai
beberapa dari para mujtahid pada suatu priode yang membenarkan ijma’
secara mupakat bilamana terdapat beberapa mujtahid menurut jumhur
2) Mufakat oleh seluruh mujtahid. Jika suatu
hukum disepakati oleh sebagian besar saja dari para mujtahid maka hal
ini tidak bisa disebut ijma’ menurut jumhur ulama’ bila mana terdapat
sebagian kecil yang berbeda pendapat.
3) Para Mujtahid adalah umat nabi Muhammad, dan
tidak butuh kesepakatan dari umat nabi lain. Karena keberadaan mujtahida hanya
mengkonteks pada masa nabinya. Hal ini berorientasi pada dalil-dalil yang di khususkan
untuk umat nabi Muhammad demi menghindari dari kesalahan dalam mufakat dengan
adanya ketidak sepakatan mujtahid umat lain.
4) Ijma’ dibenarkan pada masa setelah wafat
Rasulullah SAW. Maka ijma’ tidak dapat dijadikan pijakan pada zaman
beliau, sebab Rasulullah menyetujui para sahabat atas hukum yang disepakati
dengan sunah, bukan dengan ijma’. Jika beliau tidak sepakat dengan Ittifaq
para sahabat, maka hukum tersebut tidak dapat disepakati untuk dijadikan suatu
hukum.
5) Hukum itu disepakati oleh para mujtahid secara
syar’i, seperti hukum wajib, haram ataupun hukum shahih, fasad dsb.
Berdasarkan hal ini kesepakatan hukum-hukum lughawiyyah ataupun aqliyyah
tidak melalu jalan syar’i. Seperti kesepakatan atas huruf “Fa’” yang berfaedah
Tartib dan ta’qid dan lafadz (ثمّ) yang berfaedah tartib dan tarakhi, dan sebagaimana
kesepakatan para ulama’ mengenai fenomena-fenomena alam dan sejenisnya.
c. Perbedaan Ulama’ dan Produk Nahwu
Pada
hakikatnya ijma’ dalam kontek ilmu nahwu berbeda dengan ilmu fiqih. Pada Ilmu
Fiqih, sesuatu yang menjadi kesepakatan akan memiliki hukum mutlak, karena
ulama’ fiqih berpedoman pada Al-qur’an dan Al-Hadits yang tidak mungkin salah.
Sehingga yang bisa diterapkan adalah yang sesuai dengan ketetapan. Sedangkan
ijma’ dalam bahasa atau ilmu nahwu tidak berpedoman pada Al-qur’an dan
Al-hadits sehingga kebenarannyapun tidak mutlak dan diperbolehkan menggunakan
yang tidak disepakati dalam peraktiknya selama memiliki dalil pembenaran.
Contoh masalah yang melibatkan ijma’ yaitu,
qaul mengenai perkiraan khabarnyamashdar dari kalimat ضربي زيدا قائما. Dalam kasus ini, terdapat empat
argumen:
1) Madhab Kuffah berpendapat bahwasannya قائما pada kalimat ضربي زيدا قائماitu menjadi حال dengan ma’mul mashdarnya secara lafadh maupun makna
yaitu زيدا, sedangkan amilnya adalah mashdar (ضربي) yang berlaku sebagai mubtada’, dan
khabarnya mubtada’ jatuh sesudah haalyang wajib dikira-kirakan, sebagaimana
kalimat ضربي زيدا قائما حاصل
2) Madhab bashrah kecuali Imam Akhfasy
berpendapat bahwasannyabahwasannya قائما pada kalimat ضربي زيدا قائما itu menjadi حال denganma’mul mashdarnya secara
makna bukan lafadh, sedangkan amilnya hal terbuang, sehingga dikira-kirakan
dengan kalimat ضربي زيدا حاصل
إذا كان قائما. Jadi حاصل adalah khabarnya ضربي selaku mubtada’ dan dharf إذاadalah pengganti dari khabar yang dibuang, sehingga hal menempati tempatnya
dharf karena haal memiliki makna dharfiyah.
3) Madhab Akhfasy berpendapat bahwasannya khabar
yang menggantikan kedudukan hal itu mudhaf kepada shahibul haal, dengan
dikira-kirakanضربي زيدا ضربه
قائما, hal ini disetujui Imam Malik
karena lebih sedikit adanya pembuangan kata.
4) Madhab Ibnu Darastawaih (w. 469 H.)
berpendapat bahwasannya tidak ada khabar yang berupa mashdar, karena menempati
tempatnya fi’il, dengan dikira-kirakan ضربي زيداقائما أضربه قائما.
Ulama’ Bashrah
Ulama’ Bashrah sepakat mengenai bolehnya
mendahulukan isim dlomir yang kembali pada isim dhohir. Contoh pada kalimat ضرب غلامه زيد
Ulama’ Bashrah sepakat mengenai bolehnya
mendahulukan khabar kaana atas isimnya.
Ulama’
Kuffah
Ulama’ Kuffah sepakat bahwa Inna waakhawatuha
tidak beramal pada khabarnya. Oleh karena itu khabaru inna dibaca rafa’. Mereka
sepakat bahwa‘athaf boleh jatuh sebelum sempurnanya khabar.
Produk Nahwu
Diantara produk Ijma’ di kalangan para ulama’
Bashrah dan Kuffah ialah :
1) Mereka sepakat bahwa khabar al mubtada’ yang
mensifati maka mengandung dlamir. Misal kalimatعمر حسن، زيد قائم , lafadz حسن dan قائم disini merupakan khabar al
mubtada’menyifati mubtada’, dan keduanya mengandung dlamir yang kembali pada
masing-masing yang disifati.
2) Dlomir pada Isim fa’il atau sifat pada khobar
itu tidak boleh ditampakkan. Contoh : زيد قائم
3) Mereka sepakat bahwa fi’il madli yang menjadi
sifat dari lafadz yang dibuang, maka ia menjadi hal.
Satu lagi produk nahwu: دخول الباء الزائدة في خبر( ما) التميمية
1) Madzhab Abi al-farisi
tidak memperbolehkan memasukkan ba’ zaidah dikhobarnyama secara sempurna
Karenna ba’ tidak boleh masuk pada khobar, kecuali pada khobar yang di
nashobkan.
2) Madzhab Akhfasy memperbolehkan memasukkan
ba’zaidah dikhobarnya ma secara sempurna
* Pendapat yang paling unggul adalah
pendapatnya madzhab Akhfasy
2. Istishabul Hal
a. Definisi
Istishhab
secara etimologi (bahasa) adalah ملازمة الشيئ وعدم مفارقته (menetapkan sesuatu dan
tidak ada perbedaan) sedangkan menurut istilah adalah إبقاء حال اللفظ على ما يستحقه في الأصل عند عدم دليل النقل على الأصل (menetapkan keadaan suatu lafadz yang memperhatikan
keasliannya ketika tidak adanya dalil naql tentang asal). Atau
الحكم بثبوت أمر في الزمان
الثاني بناء على ثبوته في الزمان الأول (hukum penetapan suatu
perkara di masa kedua yang berdasarka pada penetapan di zaman pertama).
Suyuthi
menuturkan sesungguhnya masalah-masalah yang menunjukkan didalamnya ada
istishhabul hal itu sangat banyak diantaranya adalah: a. asalnya mabni itu
sukun kecuali jika ada yang mewajibkan untuk diharakati b. asalnya tambahan itu
bukan ziyadat sampai dating suatu dalil, c.dan masih banyak lagi keaslian
didalam isim, shorof, nakiroh, mudzakar, qobul al-idhofah dan juga isnad.
Senada dengan definisi
Tammam Hasan, bahwasannya sesuai dengan namanya, konsep Istishhab (taking
along, considering the orign) berkaitan erat dengan ide tentang al-ashl karena
ber- istishhab dalam perumusan kaidah nahwu berarti merujuk pada asal. Istishhab termasuk salah satu dalil dalam
ushul al- nahwu yang mu'tabar (diakui sebagai otoritatif).
Menurut Tammam Hasan ada empat poin dalam pembahasan Istishhab, yaitu:
1) Asal pembuatan (ashlu al-wadh')
2) Asal kaidah (ashl al-qaidah)
3) Perubahan dari asal (al- udul an al-ashl)
4) Kembali ke asal (al-radd ila al-ashl)
Tammam Hasan mengelaborasi masing-masing sambil
mengoreksi pendapat sebagian ulama' yang
menyatakan bahwa Istishhab dianggap sebagai dalil atau prinsip epistomologi
nahwu yang paling lemah.
Ide
tentang asal merupakan pemikiran filosofis, seperti halnya para filosof Yunani
memikirkan asal-usul kehidupan ini.Jika dirunut secara ilmiyah, sumber dan
''bahan baku" bahasa Arab yang kemudian dikaidahkan berasal dari masa
tertentu (masa fashohah dan ihtijaj), tempat tertentu (wilayah Hijaz, jazirah
Arabia), dan komunitas tertentu (suku-suku pilihan seperti Qais, Hudzail,
Tamim). Jadi asal materi kebahasa Araban itu lalu diproses: diamati, dicatat,
diklasifikasi, diindikasi, dan diformulasi.
Asal
dalam arti sumber pembakuan dan pembukuan nahwu boleh jadi sudah dianggap
final.Yang masih bermasalah adalah asal huruf, asal kata, asal kalimat, dan
asal kaidah.Dalam konteks ini, Tammam mengaitkan ide asal dengan konsep
perubahan (taghyir) dan pengaruhan (ta'tsir). Ketika mengamati satu huruf
mempunyai bentuk menurut posisi terdekatnya, para ahli nahwu, menurut Tammam,
melakukan pengabstrakan asalnya dan menganggap aneka ragam bentuk huruf itu
sebagai perubahan dari asalnya menurut prinsip perubahan dan pengaruhan,
seperti pengaruh idzgham, ikhfa', iqlab, dan sebagainya.
Demikian pula ketika mendapati kata menunjukkan bentuknya yang beragam
menurut derivasi dan relasinya dengan kata ganti, mutsanna, jama', tashghir,
dan sebagainya, para ahli nahwu kemudian mengusulkan asal yang bias berubah dan
berpengaruh sesuai dengan kaidah tertentu. Hal yang sama juga berlaku pada
kalimat yang yang ternyata tidak selalu menunjukkan satu pola struktur
melainkan mengalami perubahan dan keluar dari pola aslinya melalui penambahan (ziyadah),
peniadaan (hadzf), penyebutan kata ganti secara eksplisit dan implicit,
dan sebagainya. Semua asal huruf, asal kata, dan asal kalimat dikategorikan
sebagai asal pembuatan (ashl al-wadh').
Akan
tetapi, para ahli nahwu juga mencermati bahwa kaidah-kaidah yang disimpulkan
melalui pengabstrakan dari masmu' mengandung , dan beberapa pengecualian
(istisna').Karena itu, menurut Tammam mereka kemudian membuat formulasi sebagai
berikut: "Kaidahnya seperti begini kecuali dalam kondisi begitu"
kaidahnya seperti itu, dan kadang-kadang boleh seperti ini atau tidak boleh
seperti ini kecuali jika member informasi/pengertian." Dalam konteks
itulah, mereka membedakan antara kaidah yang pertama, dan yang menjadi
pengecualiannya.Yang pertama dinamai sebagai "kaidah asli" (al-qaidah
al-ashliyyah) atau ashl al-qaidah; sedangkan yang kedua kaidah cabang (al-qaidah
al-far'iyyah).dengan demikian, terdapat dua asal, yaitu asal pembuatan
(ashl al-wadh')dan asal kaidah (ashl al-qaidah).Menarik ditegaskan bahwa
para ahli nahwu ketika merumuskan ashl al-wadh' dan ashl al-qaidah bertujuan
untuk memperoleh efisiensi ilmiah (al-iqtishad al-ilmy).
Pengalihan perubahan asal (al-udul an al-ashl) kalimat agar tidak
biasa harus disertakan dalil yang menunjukkan adanya sesuatu yang ditiadakan,
atau adanya keperluan penafsiran ketika sebagian unsure kalimat itu di
implisitkan, dan adanya syarat terentu yang meng-haruskan fashl pada kalimat
dan perubahan urutan unsur kalimat dari yang semestinya. Demikian
pula, pengalih rubahan asal kaidah seperti pengalih rubahan asal pembuatan: ada
yang bersifat umum dan ada yang ganjil.
Pengalihan perubahan dari cabang ke asal bukan tanpa sadar.Setidak
tidaknya ada tiga alasan yang mendasarinya.Pertama, keinginan untuk
mempertahankan kalimat agar bebas dari kerancuan .sebagai contoh: kaidah asal
bahwa mubtada' itu posisinya lebih dulu daripada khabar dapat di alihrubahkan
menjadi sebaliknya jika pada mubtada' itu ada dhamir (kata ganti) yang merujuk
pada khabarnya. Kedua, memperhatikan asal yang lain ketika dua asal yang lain
bertentangan dalam struktur itu sendiri, kemudian kembali ke asal, seperti
meletakkan posisi mubtada' pada posisi lebih dahulu dari pada mubtada';
penempatan posisi mubtada' lebih dahulu itu boleh jadi bertentangan asal yang
lain yaitu kata tanay (istifham) yang memang selalu diletakkan di awal
kalimat. Ketiga, rasa bahasa (al-dzawq al-Araby) dalam praktik
berbahasa, termasuk fenomena konteks (al-zhawahir al-siyaqiyyah).
b. Pebedaan Ulama’ dan Produk Nahwu
Setiap lafadh atau perkara dalam ushul nahwu itu memiliki
hukum ashal yang berlaku tetap kecuali jika ada dalil yang jelas sehingga
menyebabkan perubahan lafadh atau perkara tersebut.
Misalnnya hukum ashal semua fi’il itu mabni, sedangkan fara’nya adalah mu’rab.
Dan hukum ashal semua isim itu mu’rab sedangkan fara’nya adalah mabni. Dan
untukfi’il mudhari’ hukum ashalnya adalah dibaca rafa’ selama tidak ada amil
yang menyebabkan perubahannya baik amil jazim maupun nashab.
Misalnya jika didahului amil nawashib, maka hukum fi’il mudhari’ yang semula
rafa’ pun berubah menjadi nashab, dan seterusnya. Adapun hukum ashal bina’ itu
adalah sukun kecuali jika ada yang mewajibkannya berharakat.
Berikut adalah sampel permasalahan yang didapati dalam
istishabul haal:
1) Ma’rifat dan nakirahnya tamyiz
Terdapat dua argumen dalam kasus ini:
a) Madhab Kufah berpendapat bahwasanya tamyiz itu boleh berupa isim ma’rifat.
Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Tharawah (w. 528 H.) dan Imam Zamahsyari
dengan menunjukkan dalil ditemukannya kasus ini dalam Al Quran surat Al Baqarah
ayat 130 (ومن يرغب عن ملة إبراهيم إلا
من سفه نفسه), نفسه dibaca nashab sebagai tamyiz dan
berupa isim ma'rifatsebab idhafah. Dan satu dalil berasal dari syair:
رأيتك لما أن عرفت وجوهنا # صددت وطبت النفس يا قيس عن عمرِو
النفس dibaca nashab sebagai tamyiz dan berupa isim ma’rifat
sebab al(أل).
b) Madhab Basrah berpendapat, menolak tamyiz yang
berupa isim ma’rifat. Karena hukum ashal tamyiz adalah berasal dari isim
nakirah.
Alasan penolakannya antara lain:
(1)
Pada kata نفسه menyimpan huruf jar yang asalnya سفه في نفسه.
(2) نفسه dibaca nashab karena menyerupai
maf’ul bih.
(3) نفسه dibaca nashab dikira-kirakan
menjadi maf’ul dalam kalimatأهلك نفسه.
Sedangkan pada lafadh النفس yang terdapat dalam syair di atas
tidak ada perbedaan pendapat antara Ulama’ Bashrah dan Kufah mengenai i’rabnya,
hanya saja dalam ma’rifat dan nakirahnya Bashrah tetap berpendapat bahwa hukum
ashal tamyiz itu berasal dari isim nakirah.
2) لكنَّ antara mufrad dan murakkab
Dalam kasus ini terdapat empat argumen:
a) Madhab
Bashrah berpendapat bahwasannya لكنَّ itu mufrad yang terdiri dari lima huruf (lam, alif,
kaf, nun, dan nun).
b) Madhab
Kufah berpendapat bahwasannya لكنَّ itu murakkab. لكنَّ tersusun dari لا dan إنّ yang diselai dengan كاف الزائدة menjadi لا كإنَّ kemudiankasrah hamzahnya lafadh إنَّ dipindah ke كاف kemudian diringankan sehingga
menjadi لكنَّ. Dan inilah qaul yang benar menurut Ibnu
Ya’isy.
c) Madhab
Al Farraa berpendapat bahwasannya لكنَّ itu murakkab, tersusun dari لكنْ dan أنّ kemudian hamzahnya dibuang untuk
meringankan pengucapannya, begitu pula dengan nunnya lafadh لكنْ dibuang untuk menghindari
bertemunya dua huruf mati secara berurutan sehingga menjadi لكنَّ.
d) Sebagian Ulama’ Nahwu ada pula yang
berpendapat bahwasannya لكنَّberasal dari لا dan كإنَّ sebagaimana pendapatnya As Suhaili.
Sedangkan برجشتراسر berpendapat bahwasannya لكنَّ berasal dari لا danكن (ken) yang dalam bahasa الآرامية artinya هكذا, sehingga arti لاكنadalah ليس كذا. Dan Dr. Fadhil berpendapat bahwasannya tidak ada
perbedaan arti dari lafadh لكنَّ yang ditasydid nunnya maupun لكن yang disukun nunnya.
c. Rukun-Rukun Dan Penerapan Al-Ishtishab Dalam
Kaidah
Adapun Rukun-rukun istishab sebagai berikut:
1) Ada atau tidak adanya sesuatu
Ada atau tidaknya hukum yang berlaku pada sesuatu
2) Masa
lalu
Adanya hukum asal pada masa lalu
3) Masa
sekarang
Adanya hukum sekarang yang merubah dari hukum asal pada
masa lalu
4) Berlanjut
Suatu hukum bersifat berlanjut dan akan berlaku selamanya
5) Tidak ada yang bisa menghentikan
Suatu hukum yang sudah berlaku bersifat mengikat dan
tidak ada yang bisa mengganti hukum tersebut dengan hukum yang lainya
Adapun Penerapan al-istihab dalam kaidah sebagai berikut :
الأصل في الأسماءالإعراب
“Asal pada isim itu adalah dii’rabkan”
Maksudnya semua isim itu dii’rab,kecuali yang menyerupai
huruf hukumnya adalah tidak I’rab’(
dibina).berkata Ibnu Malik” diantara isim itu ada yang dibina dan ada yang
dii’rab,dibina karean menyerupai huruf” (Malik: juz:1:27).
الأصل في الأفعال البناء
“Asal pada fi’il itu dibina”
Maksudnya fiil
al-amri dibina berdasarkan al-istihab adapun fi’il mudhare’ di I’rab Karena mirip dengan isim dalam hal syakal,
berbeda dengan fiil amri yang tidak menyerupai isim maka hukumnya hukum asal”
الأصل في علامات الإعراب أن تكون بالحركات والإعراب
بالحروف عدول عن هذاالأصل
Asal pada alamat al-I’rab adalah dengan mempergunakan
harakat adapun al-I’rab dengan huruf adalah keluar dari asal” seperti pada
al-asma’al-khamsah.
C. PENUTUP
Simpulan
Ushul nahwu dalam kajian nahwu Arab mempunyai
kesamaan dengan ushul fiqih dalam dalam kajian ilmu fiqh. Di dalam ilmu ushul
nahwu terdapat adillah al-nahwu sedangkan dalam ilmu ushul fiqh al fiqh dikenal
adillah al ahkam yang kedua-duanya sama-sama digunakan untuk menetapkan hukum.
Dalam pembahasannya, ada dua madrasah yang
menjadi acuan dalam keilmuwan nahwu, yaitu madrasah Kufah dan Basrah. Apabila
membaca pemikiran - pemikiran para linguis Kufah maka dapat dinyatakan, ada dua
hal sebagai pembeda dengan aliran Basrah. Pertama, linguistic Kufah banyak
membuat istilah-istilah baru, dan kedua pemikiran-pemikiran di bidang ilmu
nahwu sengaja dipertentangkan dengan pemikiran aliran Basrah.
Ijma’ merupakan kesepakatan Ahli Nahwu Bashrah
dan Kufah . Perbedaan ijma’ dalam konteks Fiqh dengan Nahwu yaitu, keputusan
yang ditetapkanijma’ Ulama’ Fiqh adalah mutlak, sehingga tidak diperbolehkan
menjalankan yang diluar kesepakatan. Sebaliknya, sesuatu yang disepakati dalam
Nahwu boleh jadi tidak dijalankan dalam arti menjalankan yang diluar
kesepakatan dengan syarat tidak menyalahi hakikat. Istishabul haal yaitu
tetapnya suatu perkara dengan hukum ashalnya selagi tidak ada sebab yang
merubahnya.
DAFTAR
PUSTAKA
A.
Bahasa Indonesia
Effendi, M.Zein Satria.2009. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana
Pranada Media Group
Muhammad
bin abdur rahman bin Abdullah. Al-sabihaini. I'tiradl al-Nahwiyin liddalil al-aqli.Riyadl
Mulloh, Tamim. 2014. Al-Basith
fi Ushulin Nahwi wa Madarisihi. Malang : dream
litera
Wahab, Muhbib Abdul. Pemikiran Linguistik
Tamam Hasan Dalam Pembelajaran Bahasa Arab. Jakarta: UIN Jakarta Press
B.
Bahasa Arab
حسن ، تمام.
1981. الأصول دراسة ايبستمولوجية
لأصول الفكر اللغوي العربية . دارالثقافة
خديجة الحديثي. 1985. حضارة
العراق ، بغداد : دار الحرية للطباعة
C.
Internet
Muhammad bin
abdur rahman bin Abdullah, Al-sabihaini. I'tiradl al-Nahwiyin liddalil
al-aqli.Riyadl. hal: 64
Muhbib
Abdul wahab, Pemikiran Linguistik TAMAM HASAN Dalam Pembelajaran Bahasa Arab.........................................
hal: 147
Adat Syarat. Hasyim Ismaiy. جدول الحرف.( Indonesia: Al Haramain). Hlm. 1