HAK
ASASI MANUSIA (HAM) DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Oleh: Rizqi Fauzi Yasin
Pendahuluan
Untuk dapat menjalankan tugas dan fungsi manusia sebagai pemimpin, setiap manusia harus mengerti terlebih dahulu
hak-hak dasar yang melekat pada dirinya seperti kebebasan, persamaan,
perlindungan dan sebagainya. Hak-hak tersebut bukan merupakan pembererian
seseorang, organisasi, atau Negara, tapi adalah anugrah Allah yang sudan
dibawanya sejak lahir kea lam dunia. Hak-hak itulah yang kemudian disebut dengan
Hak Azazi Mannusia. Tanpa memahami hak-hak tersebut adalah mustahil ia dapat
menjalankan tugas serta kewajibannya sebagai khalifah Tuhan. Namun persoalannya
kemudian, apakah setiap manusia dan setiap muslim sudah menyadari hak-hak
tersebut? Jwabannya, mungkin belum setiap orang, termasuk umat islam
menyadarinya. Hal ini mungkin akibat rendahnya pendidikan atau sistem social
politik dan budaya di suatu tempat yang tidak kondusif untuk anak dapat
bekembang dengan sempurna (Ahmad Kosasih, HAM dalam Perspektif Islam 2003:5).
Dalam sudut pandang Islam Hak Asasi Manusia suadah diatur berdasarkan atau
berpedoman pada Al-Qur’an dan Hadist. Karena Al-Qur’an dan Hadist merupakan
pedoman hidup bagi seluruh manusia yang ada di bumi ini pada umumnya dan bagi
umat islam pada khususnya.oleh karena itu, umat munusia pada umumnya dan umat
islam pada khususnya apabila tidak ingin hak-haknnya diramapas oleh orang lain,
maka hendaknya ia harus mengetahui hak-haknya dan selalu memperjuangkannya
selama tidak mengambil atau melampui batas dari hak-hak orang lain.
Prinsip fundamental dari suatu keadilan adalah
adanya pengakuan bahwa semua manusia itu memiliki martabat yang sama. Di
samping itu, semua manusia memiliki hak-hak yang diperolehnya, selain
kewajiban-kewajiban yang mesti dilaksanakan sebagai sebuah konsekuensi kehidupan. Hak-hak yang
paling fundamental itu adalah aspek-aspek kodrat manusia atau kemanusiaan itu
sendiri. Kemanusiaan setiap manusia merupakan amanat dan ide luhur dari Allah
SWT, Yang Maha Pencipta yang menginginkan setiap manusia dapat tumbuh dan
berkembang dalam kehidupannya untuk menuju dan mencapai kesempurnaannya sebagai
manusia. Oleh karena itu, setiap manusia harus dapat mengembangkan diri
sedemikian rupa sehingga dapat terus berkembang secara leluasa.
Risalah Islamiyyah yang dibawa oleh nabi
Muhammad SAW telah diyakini sebagai ajaran yang bersifat universal. Isi dan
muatan ajarannya mengandung nuansa kasih sayang dan rahmat ilâhî untuk
seluruh lapisan umat manusia di mana saja berada, yang akan mengantarkan
kebahagiaan dan kesuksesan mereka hidup di dunia serta kebahagiaan dan
keselamatan mereka hidup di akhirat.
Di antara sekian ajarannya, berkait ajaran hak
asasi manusia, yang batu pertamanya
secara historis telah diletakkan sejak Islam itu lahir, tepatnya pada akhir
abad ke-6 Masehi. Sejak abad ke-6 Masehi ini, Islam telah berusaha
menggelorakan untuk menghapus perbudakan serta membina sendi-sendi hak-hak
asasi manusia. Walaupun, pada masa permulaan Islam, pelaksanaannya dilakukan
secara bertahap (tadrîj) sehingga pembasmian terhadap perbudakan tidak
dilakukan dengan sekaligus. Islam mengajarkan umatnya agar menghormati dan
mengakui hak-hak hidup seseorang. Islam mengajarkan bahwa hidup dan mati adalah
dalam kekuasaan Allah SWT Yang Maha Kuasa. Sehingga tidak dapat seorangpun
mengganggu hak hidup orang lain. Disamping itu, Islampun mengajarkan bahwa
selain setiap orang harus terjamin hak hidup dan kemerdekaannya, hendaklah hak
jamaah (hak publik) lebih diutamakan atas hak perorangan.
Sehingga dapatlah dikatakan bahwa HAM dalam
Islam sebenarnya bukan barang asing, karena wacana tentang HAM dalam Islam
lebih awal jika dibandingkan dengan konsep atau ajaran lainnya. Dengan kata
lain, Islam datang secara inheren membawa ajaran tentang HAM. Sebagaimana telah
dikemukakan oleh al-Maududi bahwa ajaran tentang HAM yang terkandung dalam
Piagam Magna Charta baru muncul 600 tahun setelah kedatangan Islam. Selain itu,
diperkuat oleh pandangan Weeramantry bahwa pemikiran Islam mengenai hak-hak di
bidang sosial, ekonomi dan budaya telah jauh mendahului pemikiran Barat.
Ajaran Islam tentang HAM dapat dijumpai dalam sumber utama ajaran Islam yaitu
al-Qur`an dan Hadis yang merupakan sumber ajaran normatif, juga terdapat dalam
praktik kehidupan umat Islam. Tonggak sejarah keberpihakan Islam terhadap HAM,
yaitu pada pendekatan Piagam Madinah yang dilanjutkan dengan Deklarasi Kairo
(Cairo Declaration).
Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM)
Berikut ini beberapa pengertian tentang hak asasi manusia, antara lain:
1. Secara etimolgi hak merupakan unsur normative
yang berfungsi sebagai pedoman prilaku melindumgi kebebasan, kekebalan serta
menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjadi harkat dan martabatnya.
Sedangkan asasi berarti yang bersifat paling mendasar yang dimiliki manusia
sebagai fitrah, sehingga tak satupun makhluk
mengintervensinya apalagi mencabutnya.
2. Menurut pendapat Jan Materson (dari komisi HAM
PBB), dalam Teaching Human Rights, United Nations sebagaimana dikutip
Baharuddin Lopa menegaskan bahwa HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap
manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia
3. John Locke menyatakan bahwa HAM adalah hak-hak
yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati.
4. Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak
yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Sejarah Hak Asasi Manusia (HAM)
Negara yang sering disebut sebagai negara pertama di dunia yang
memperjuangkan hak asasi manusia adalah Inggris.Tonggak pertama bagi kemenangan
hak-hak asasi terjadi di Inggris.Perjuangan tersebut tampak dengan adanya
berbagai dokumen kenegaraan yang berhasil disusun dan disahkan.Dokumen-dokumen
tersebut adalah MAGNA CHARTA.Tindakan sewenang-wenang Raja Inggris
mengakibatkan rasa tidak puas dari para bangsawan yang akhirnya berhasil
mengajak Raja Inggris untuk membuat suatu perjanjian yang disebut Magna Charta
atau Piagam Agung.Magna Charta dicetuskan pada 15 Juni 1215 yang prinsip
dasarnya memuat pembatasan kekuasaan raja dan hak asasi manusia lebih penting
daripada kedaulatan raja. Tak seorang pun dari warga negara merdeka dapat
ditahan atau dirampas harta kekayaannya atau diasingkan atau dengan cara apapun
dirampas hak-haknya, kecuali berdasarkan pertimbangan hukum. Piagam Magna
Charta itu menandakan kemenangan telah diraih sebab hak-hak tertentu yang
prinsip telah diakui dan dijamin oleh pemerintah. Piagam tersebut menjadi
lambang munculnya perlindungan terhadap hak-hak asasi karena ia mengajarkan
bahwa hukum dan undang-undang derajatnya lebih tinggi daripada kekuasaan raja.
Perjuangan di negara Inggris memicu perjuangan-perjuangan di banyak negara
untuk Hak Azasi Manusia. Seperit misalnya Amerika Serikat dengan Presiden
Flanklin D. Roosevelt tentang “empat kebebasan” yang diucapkannya di depan
Kongres Amerika Serikat tanggal 6 Januari 1941 antara lain kebebasan untuk
berbicara dan melahirkan pikiran (freedom of speech and expression), kebebasan
memilih agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya (freedom of religion),
kebebasan dari rasa takut (freedom from fear), kebebasan dari kekurangan dan
kelaparan (freedom from want).
Setelah perang dunia kedua, mulai tahun 1946, disusunlah rancangan piagam
hak-hak asasi manusia oleh organisasi kerja sama untuk sosial ekonomi
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang terdiri dari 18 anggota. PBB membentuk komisi
hak asasi manusia (commission of human right). Sidangnya dimulai pada bulan
januari 1947 di bawah pimpinan Ny. Eleanor Rossevelt. Baru 2 tahun kemudian,
tanggal 10 Desember 1948 Sidang Umum PBB yang diselenggarakan di Istana
Chaillot, Paris menerima baik hasil kerja panitia tersebut.Karya itu berupa
UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS atau Pernyataan Sedunia tentang Hak – Hak
Asasi Manusia, yang terdiri dari 30 pasal. Dari 58 Negara yang terwakil dalam
sidang umum tersebut, 48 negara menyatakan persetujuannya, 8 negara abstain,
dan 2 negara lainnya absen. Oleh karena itu, setiap tanggal 10 Desember
diperingati sebagai hari Hak Asasi Manusia
Perbedaan pandangan Islam Dan Barat Tentang HAM
Terdapat perbedaan-perbedaan yang mendasar antara konsep HAM dalam Islam
dan HAM dalam konsep Barat sebagaimana yang diterima oleh perangkat-perangkat
internasional.HAM dalam Islam didasarkan pada premis bahwa aktivitas manusia
sebagai khalifah Allah di muka bumi.Sedangkan dunia Barat, bagaimanapun,
percaya bahwa pola tingkah laku hanya ditentukan oleh hukum-hukum negara atau
sejumlah otoritas yang mencukupi untuk tercapainya aturan-aturan publik yang
aman dan perdamaian semesta.
Selain itu, perbedaan yang mendasar juga terlihat dari cara memandang
terhadap HAM itu sendiri. Di Barat,
perhatian kepada individu-individu timbul dari pandangan-pandangan yang besifat
anthroposentris, dimana manusia merupakan ukuran terhadap gejala tertentu.
Sedangkan Islam, menganut pandangan yang bersifat theosentris, yaitu Tuhan Yang
Maha Tinggi dan manusia hanya untuk mengabdi kepada-Nya. Berdasarkan atas
pandangan yang bersifat anthroposentris tersebut, maka nilai-nilai utama dari
kebudayaan Barat seperti demokrasi, institusi sosial dan kesejahteraan ekonomi
sebagai perangkat yang mendukung tegaknya HAM itu berorientasi kepada
penghargaan terhadap manusia. Dengan kata lain manusia menjadi akhir dari
pelaksanaan HAM tersebut.
Berbeda keadaanya pada dunia Timur(Islam) yang bersifat theosentris,
larangan dan perintah lebih didasarkan pada ajaran Islam yang bersumber dari
Al-Qur’an dan Hadist. Al-Qur’an menjadi transformasi dari kualitas kesadaran
manusia. Manusia disuruh untuk hidup dan bekerja diatas dunia ini dengan
kesadaran penuh bahwa ia harus menunjukkan kepatuhannya kepada kehendak Allah
swt. Mengakui hak-hak dari manusia adalah sebuah kewajiban dalam rangka
kepatuhan kepada-Nya.
Pengertian HAM dalam Islam
Untuk memahami konsep dan hakikat Hak Asasi
Manusia (HAM) dalam Islam, terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian dasar
tentang HAM. Dalam bahasa Arab, HAM dikenal dengan (Haqq al- Insânî al-Asâsî
atau juga disebut Haqq
al-Insânî ad-Darûrî), yang terdiri
terdiri atas tiga kata, yaitu: a. kata hak (haqq) artinya: milik,
kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu, dan merupakan sesuatu
yang harus diperoleh. b. kata manusia (al-insân) artinya: makhluk yang
berakal budi, dan berfungsi sebagai subyek hukum. c. asasi (asâsî)
artinya: bersifat dasar atau pokok.
Secara terminologis, HAM dalam persepsi Islam,
Muhammad Khalfullah Ahmad telah memberikan pengertian bahwa HAM merupakan hak
yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai
suatu amanah dan anugerah Allah SWT yang harus dijaga, dihormati, dan
dilindungi oleh setiap individu, masyarakat atau negara. Bahkan Ibn Rusyd lebih
menegaskan bahwa HAM dalam persepsi Islam telah memberikan format perlindungan,
pengamanan, dan antisipasi terhadap berbagai hak asasi yang bersifat primair (darûriyyât)
yang dimiliki oleh setiap insan. Perlindungan tersebut hadir dalam bentuk
antisipasi terhadap berbagai hal yang akan
mengancam eksistensi jiwa,
eksistensi kehormatan dan keturunan, eksistensi harta benda material,
eksistensi akal pikiran, serta eksistensi agama.
Dengan demikian, hakikat penghormatan dan
perlindungan terhadap HAM dalam konsep Islam ialah menjaga keselamatan eksistensi
manusia secara utuh dan adanya keseimbangan, yaitu keseimbangan antara hak dan
kewajiban, serta keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan
kepentingan umum. Jadi dalam memenuhi dan menuntut hak tidak terlepas dari
pemenuhan kewajiban yang harus dlaksanakan. Begitu juga dalam memenuhi
kepentingan perseorangan tidak boleh merusak kepentingan orang banyak
(kepentingan umum). Oleh sebab itu, pemenuhan, perlindungan dan penghormatan
terhadap HAM harus disertai dengan pemenuhan terhadap KAM (kewajiban Asasi
Manusia), dan TAM (Tanggung jawab Asasi Manusia), dalam kehidupan pribadi,
kehidupan bermasyarakat, dan bernegara.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa hakikat dari HAM itu adalah keterpaduan antara
HAM, KAM, dan TAM yang berlangsung secara sinergis dan seimbang. Kesemuanya ini
(HAM, KAM, dan TAM) merupakan nikmat dan anugerah sekaligus sebagai amanah yang
akan diminta pertanggungjawabannya di hadapan pengadilan ilahi Allah SWT Rabbul
`alamin.
Hak asasi manusia dalam Islam tertuang secara jelas untuk kepentingan
manusia, lewat syari’ah Islam yang diturunkan melalui wahyu. Menurut syari’ah,
manusia adalah makhluk bebas yang mempunyai tugas dan tanggung jawab, dan
karenanya ia juga mempunyai hak dan kebebasan. Dasarnya adalah keadilan yang
ditegakkan atas dasar persamaan atau egaliter, tanpa pandang bulu. Artinya,
tugas yang diemban tidak akan terwujud tanpa adanya kebebasan, sementara
kebebasan secara eksistensial tidak terwujud tanpa adanya tanggung jawab itu
sendiri. Sistem HAM Islam mengandung prinsip-prinsip dasar tentang persamaan,
kebebasan dan penghormatan terhadap sesama manusia. Persamaan, artinya Islam
memandang semua manusia sama dan mempunyai kedudukan yang sama, satu-satunya
keunggulan yang dinikmati seorang manusia atas manusia lainya hanya ditentukan
oleh tingkat ketakwaannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat
Al-Hujarat ayat 13, yang artinya sebagai berikut : “Hai manusia, sesungguhnya
Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang
paling mulia di antara kaum adalah yang paling takwa.”
Pada dasarnya HAM dalam Islam terpusat pada lima hal pokok yang terangkum
dalam al-dloruriyat al-khomsah atau yang disebut juga al-huquq al-insaniyah fi
al-islam (hak-hak asasi manusia dalam Islam). Konsep ini mengandung lima hal
pokok yang harus dijaga oleh setiap individu, yaitu hifdzu al-din (penghormatan
atas kebebasan beragama), hifdzu al-mal (penghormatan atas harta benda), hifdzu
al-nafs wa al-‘ird (penghormatan atas jiwa, hak hidup dan kehormatan individu)
hifdzu al-‘aql (penghormatan atas kebebasan berpikir) dan hifdzu al-nasl
(keharusan untuk menjaga keturunan). Kelima hal pokok inilah yang harus dijaga
oleh setiap umat Islam supaya menghasilkan tatanan kehidupan yang lebih
manusiawi, berdasarkan atas penghormatan individu atas individu, individu
dengan masyarakat, masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan negara dan
komunitas agama dengan komunitas agama lainnya.
Macam-Macam Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Islam
Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian
terdahulu, bahwa sosok manusia dalam perspektif Islam, baik sebagai makhluk
individu maupun sebagai makhluk sosial, mempunyai hak asasi pokok, semata-mata diistimewakan
memang karena dirinya sebagai hamba Allah SWT. Di antara hak-hak asasi tersebut
adalah:
1.
Hak untuk hidup.
Hak asasi yang paling utama yang diusung oleh
Islam adalah hak untuk hidup dan menghargai hidup manusia. Hal tersebut secara
tegas telah dikemukakan oleh Allah SWT pada QS. 5 (al-Ma’idah):32, yang
artinya: Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Ban Israil, bahwa
barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh)
orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan
dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara
kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan
manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami
dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara
mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di
muka bumi.
Perbuatan menghilangkan nyawa karena alasan
dendam atau untuk menebar kerusakan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan yang
berwenang. Selama berlangsung peperangan perbuatan itu hanya dapat diadili oleh
pemerintah yang sah. Pada setiap peristiwa itu, tidak ada satu individu pun
yang memiliki hak untuk mengadili dengan main sendiri. Sebagaimana telah
dijelaskan oleh Allah SWT pada QS. 6 (al-Anfal):151, yang artinya: Janganlah
kamu bunuh jiwa yang diharamkan Allah SWT untuk membunuhnya kecuali karena
sebab yang dibenarkan oleh syari`ah. Dengan demikian pembunuhan dibedakan dari
menghilangkan nyawa yang dilakukan demi melaksanakan keadilan.
Allah SWT menganugerahkan hak hidup kepada
seluruh insan hamba-Nya dengan tidak melihat ras, jenis kelamin, bangsa, maupun
agama. Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang bersumber dari `Amr
bin `Ash, yang artinya: Seseorang yang membunuh orang yang di bawah perjanjian
(seorang warga negara non muslim dalam negara Islam) tidak akan mencium surga
walau hanya mencium wanginya. Selain itu Rasululah SAW bersabda: Barang siapa
yang membunuh seorang ahli zimmi, sungguh Allah haramkan dia dari
surga-Nya.(HR. An-Nasa`i yang bersumber `Amr bin `Ash).
Menurut Syeikh Syaukat Husain, Islam
memerintahkan umatnya untuk menghormati hak hidup ini, walaupun terhadap bayi
yang masih di dalam rahim ibunya. Lebih dari itu, Islam tidak hanya
memperhatikan kemuliaan dan martabat manusia ketika ia masih hidup, martabatnya
tetap dimuliakan, sampai dengan wafatnya, dengan diurus jenazahnya, dimandikan,
dikafankan, dishalatkan dan dimakamkan dengan baik dan penuh ketulusan.
Di samping itu, Islam telah mengajarkan bahwa
ada banyak cara untuk menyelamatkan hidup manusia dari ancaman kematian. Apabila seseorang menderita
sakit, atau menderita luka-luka atau terkena musibah, maka menjadi kewajiban bagi
saudara yang lainnya untuk menolongnya memperoleh bantuan medis. Apabila ia
hampir mati karena kelaparan, maka saudaranya berkewajiban untuk memberikan
makanan. Apabila ia terancam tenggelam maka tugas saudaranya berusaha keras
untuk menyelamatkannya.
Berdasarkan uraian tersebut jelaslah bahwa hak
milik atas harta benda atau hak ekonomi dijamin oleh Islam bagi setiap manusia
dengan tidak mengenal diskrimnasi.
2.
Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup atau hak
ekonomi.
Berbicara tentang hak ekonomi, Islam telah
mengajarkan kepada setiap individu untuk dapat memenuhi kebutuhan pribadinya
dan keluarganya sesuai dengan prestasi
hidup skill yang dimiliki. Namun, di balik harta yang dimilikinya itu, di
dalamnya terkandung hak orang lain, khususnya kalangan dhua`fa dari golongan fakir miskin, yang
dikeluarkan melalui zakat, infak, dana sedekah (ZIS). Hal tersebut sesuai
dengan firman Allah SWT QS. 51 (adz-Dzariyat) : 19, yaitu:
“Dan pada harta-harta mereka ada hak-hak orang miskin yang tidak mendapat bahagian”
Pesan ayat tersebut menyatakan dan menegaskan
bahwa siapapun yang minta pertolongan dan siapapun yang menderita kesulitan
mempunyai hak atas bagian harta benda dan kekayaan seorang muslim, tanpa
melihat apakah ia berasal dari bangsa ini, atau itu, dari negara manapun dan
dari ras manapun ia berasal.
Selain itu, Islam memberikan jaminan
perlindungan dan keamanan terhadap eksistensi harta kekayaan masing-masing individu, khususnya terhadap
harta benda yang diperoleh secara legal dan sah menurut hukum. Termasuk di
dalamnya hak-hak untuk dapat menikmati dan mengkonsumsi harta, hak untuk
investasi dalam berbagai usaha, hak untuk mentransfer, serta hak perlindungan
individu lain tinggal di atas tanah miliknya.
Islam senantiasa melindungi hak milik bagi setiap individu, sebagaimana yang telah
dipraktikan oleh Rasululah SAW dan juga diteruskan oleh para khulafa
ar-Rasyidun. Sebagai contoh kasus yang terjadi pada perang Hunain, Rasulullah
menemukan topi baja milik Sofwan bin Umayyah. Ketika beliau ditanya apakah
topi-topi ini akan diambil tanpa konpensasi? Rasulullah menjawab: semua
topi-topi baja yang hilang selama pertempuran akan diganti.
3.
Hak untuk mendapatkan kemerdekaan dan
kebebasan.
Islam secara tegas melarang praktek
perbudakan, dalam bentuk orang yang merdeka menjadi hamba sahaya, kemudian
diperjualbelikannya. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam
sebuah hadisnya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Ibn Majah yang
bersumber dari `Amr bin `Ash, yaitu: Ada tiga kategori manusia yang aku sendiri
akan menggugatnya pada hari kiamat. Di antaranya adalah mereka yang menyebabkan
seorang yang merdeka menjadi hamba sahaya, lalu menjualnya dan memakan uang
hasil penjualannya.
Menurut Abu al-`A’ala al- Maududi, pernyataan
hadis Rasululah SAW tersebut tidak hanya terbatas dan hanya berlaku bagi satu bangsa tertentu, atau ras tertentu,
atau hanya berlaku bagi penganut agama tertentu saja. Akan tetapi, berlaku
secara umum dan universal mencakup kepada seluruh lapisan manusia. Sehingga,
Islam, menurut al-Maududi, berusaha secara maksimal untuk memecahkan persoalan
perbudakan yang telah berlangsung di Arabia dan di seluruh dunia, denga
mendesak para tuan (pemilik hamba sahaya) untuk membebaskan para budak.
Membebaskan para hamba sahaya untuk kemudian menjadi seorang yang merdeka
dikatakan sebagai sebuah perbuatan mulia, yaitu bahwa setiap organ tubuh orang
yang membebaskan hamba sahaya akan dilindungi dari acaman siksa api neraka.
Sebagai hasil dari kebijakan ini, masalah
perbudakan di Arabia dapat dituntaskan dalam kurun waktu 40 tahun. Dimulai oleh
Rasulullah SAW telah membebaskan sebanyak 63 hamba sahaya, `Aisyah RA telah
membebaskan 67 orang, Abadullah bin Abbas membebaskan 70 orang , Abdullah bin
`Umar telah memerdekakan sebanya 1000 orang, dan Abdurrahman ash-Shahra telah
memerdekakan 30.000 orang. Selanjutnya diikuti oleh para sahabat yang lain yang
telah membebaskan hamba sahaya dengan jumlah yang lebih banyak.
Selain itu, Islampun telah menegaskan bahwa
tidak ada seorangpun yang dapat dipenjara, kecuali jika yang bersangkutan telah
dinyatakan bersalah oleh lembaga
pengadilan dengan proses persidangan
secara terbuka. Praktek pengadilan terbuka ini telah dilakukan oleh
Rasulullah SAW pada kasus pembocoran rahasia negara berkait dengan persiapan fathu
Makkah. Dimana seseorang, yang bernama Hatib, telah mengirim surat
melalui seorang wanita yang isinya membocorkan kepada mereka tentang persiapan
itu. Rasulullah SAW telah mencium akan hal itu melalui wahyu illahi. Kemudian
beliau mengutus Ali dan Zubair, dengan
seraya berkata: ”Pergilah kalian menuju Mekah dan pada suatu tempat tertentu
kalian akan menjumpai seorang wanita membawa sebuah surat, dapatkanlah surat
itu darinya dan serahkanlah kepadaku.
Kemudian keduanya pergi dan menemukan kedua wanita itu. Mereka mengambi surat
dari kedua wanita itu dan mengembalikannya kepada Rasululah SAW. Selanjutnya,
Rasulullah memanggil Hatib untuk menghadap persidangan pengadilan terbuka, di
mana dia diminta untuk menjelaskan posisinya dalam kasus ini. Dalam hal ini
tidak ada pengadilan rahasia.
Di samping itu, praktek pengadilan terbuka
juga dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab, dengan kharismatiknya dia tidak
pernah ragu-ragu untuk mengadili para gubernur daerahnya dalam sidang terbuka,
meskipun situasi pada saat itu kritis, karena daerah-daerah di bawah jabatan
gubernur mereka baru saja ditaklukan sebelum sidang pengadilan tersebut
berlangsung.
4.
Kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Islam menganugerahkan hak kebebasan untuk
berfikir dan hak untuk mengungkapkan pendapat kepada seluruh umat manusia.
Kebebasan berekspressi ini tidak hanya diberikan kepada warga negara ketika
melawan tirani, namun juga bagi setiap individu untuk bebas mengeluarkan
pendapat dan sekaligus mengekspressikannya berkait dengan berbagai masalah.
Tentunya kebebasan berpendapat di sini berkait dengan upaya untuk mensosialisasikan perbuatan kebaikan dan
kebajikan, dan berupaya untuk menghimbau dan mengantisipasi berbagai perbuatan
kejahatan dan kezaliman.
Rasulullah SAW selama hidupnya telah
memberikan kebebasan kepada para sahabatnya untuk mengungkapkan pendapat
sekalipun berbeda dengan pendapat pribadi beliau. Rasululah SAW telah menempa
kepribadian para sahabat sedemikian rupa sehingga mereka dapat mengekspressikan
perbedaan pendapat tanpa ragu-ragu. Sebagai contoh: ketika Rasulullah SAW
meminta para sahabat untuk melawan musuh di dalam kota Madinah. Para sahabat
berpendapat bahwa posisi para sahabat mesti di lokasi medan pertempuran Uhud.
Pendapat para sahabat ini kemudian
dipilih oleh Rasululah SAW bahwa posisi umat Islam dan Rasulullah dalam
menghadapi musuh pada perang Uhud berada di lokasi jabal uhud bukan di dalam
kota Madinah.
Sebagai contoh kasus lain, Rasulullah mengajak
bermusyawarah dan ber dialog dengan para sahabatnya berkait dengan perlakuan
terhadap para tawanan perang Badar. Ketika itu, ada dua pendapat sahabat senior
yang muncul, pendapat Abu Bakar Siddiq
dan pendapat Umar bin Khattab. Abu Bakar mengajukan pendapatnya, untuk mengambil
tebusan (fidyah) dari para tawanan itu. Sedangankan Umar bin Khattab
berpendapat lebih tegas, bahwa para tawanan Badar itu harus dibunuh. Menyikapi
dua pendapat tersebut, Rasulullah berijtihad, dengan memilih pendapat Abu Bakar
Siddiq (menerima tebusan dari para tawanan perang Badar itu). Di samping itu,
tradisi politik yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar Siddiq dan Khalifah Umar
bin Khattab biasa mengundang kaum muslimin untuk meminta kritik mereka terhadap
berbagai kebijakannya tanpa ragu-ragu.
5.
Persamaan hak dan kedudukan di hadapan hukum.
Islam menegaskan dan menekankan adanya
persamaan seluruh umat manusia di depan Allah SWT. Sebagai makhluk ciptaan-Nya,
manusia telah diciptakan dari asal usul yang sama, nenek moyang yang sama, dan
kepada-Nyalah mereka mesti taat dan patuh. Hal tersebut sesuai dengan QS. 4
(an-Nisa):1, yaitu:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan
kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya, dan
dari pada keduanya Allah memperkembang
biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang
dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu meminta satu sama lain, dan (peliharalah)
hubungan sillaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”
Demikian pula pada QS.49 (al-Hujurat) :13,
yaitu:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal”.
Rasulullah SAW telah mendeklarasikan asas
persamaan (al-musâwah) di antara manusia ini tertuang dalam khutbah haji
wada`nya: Orang Arab tidak mempunyai keunggulan atas orang non Arab, demikian
juga orang non Arab tidak mempunyai
keunggulan atas orang Arab. Demikian juga orang berkulit putih tidak mempunyai
keunggulan atas orang yang berkulit hitam, atau orang yang berkulit hitam tidak
mempunyai keunggulan atas orang yang berkulit putih. Semua manusia adalah anak
keturunan Adam, dan Adam diciptakan dari tanah liat.
Islam telah menghancurkan diskriminasi terhadap sistem kasta, keyakinan, perbedaan
warna kulit, dan agama. Rasulullah SAW tidak hanya secara lisan menegakkan hak
persamaan ini, namun juga telah memperhatikan pelaksanaannya selama hidup
beliau. Pernah ada seorang wanita dari keluarga bangsawan ditangkap karena
keterlibatannya dalam pencurian. Kasus ini dihadapkan kepada Rasulullah SAW dan
diminta agar wanita itu bisa dimaafkan. Akan tetapi, Rasulullah SAW menjawab:
Bangsa-bangsa yang hidup sebelum kamu telah dibinasakan oleh Allah SWT karena
mereka menghukum orang-orang biasa dan rakyat jelata atas pencurian yang mereka
lakukan, akan tetapi membiarkan bangsawan terkemuka dan berkedudukan tinggi
tanpa dihukum atas pencurian yang mereka lakukan. Demi Allah yang jiwaku di
tangan-Nya, andaikan Fatimah puteriku sendiri mencuri, maka aku akan memotong
tangannya.
6.
Hak kebebasan untuk berserikat.
Islam juga telah memberikan hak kepada rakyat
untuk bebas berpolitik, berserikat dan membentuk organisasi-organisasi. Namun,
hak berserikat ini dilakukan dengan motivasi untuk menyebarkan dan merealisir
kemaslahatan dan kebaikan baik bagi individu, masyarakat dan bangsa, bukan
untuk menyebarluaskan kejahatan dan kekacauan. Sehingga dapat dikatakan bahwa
hak kebebasan berserikat tidak berlaku secara mutlak tanpa batas. Akan tetapi,
ia dilakukan dengan dilandasi oleh semangat untuk menyebarluaskan amal-amal
kebajikan dan kesalehan, serta menumpas kejahatan dan kemunkaran.
Hak untuk kebebasan untuk berserikat secara umum terkandung pada QS. 3(Ali
`Imran):110),yaitu:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara
mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”.
7.
Hak untuk mendapatkan keadilan.
Islam hadir ke muka bumi ini untuk menegakan
keadilan. Sehingga setiap insan hamba Allah SWT mendapatkan hak keadilan yang
sangat penting ini. Islam mewajibkan kepada umatnya untuk menegakan keadilan
walaupun untuk dirinya sendiri. Hal tersebut secara tegas telah dijelaskan oleh
Allah SWT pada QS. 42 (asy-Syura) :15, yaitu:
“Maka karena itu serulah (mereka
kepada agama itu) dan tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah
mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah: “Aku beriman kepada semua Kitab
yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di atara kamu.
Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi
amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Alla mengumpulkan
antara kita dan kepada-Nyalah kembali (kita)”
Di samping itu, di dalam QS. 57 (al-Hadid) :
25, yaitu:
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa
bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan
neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan kami ciptakan
besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bai
manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui
siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasulnya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi
Maha Perkasa”
Selain itu, Allah SWT meminta kepada setiap
hamba-Nya untuk dapat menegakkan keadilan itu walau terhadap dirinya sendiri.
Sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah SWT pada QS.4 (an-Nisa): 135, yaitu:
“Wahai
orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan,
menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan
kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah telah tahu kemaslahatannya.
Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari
kebenaran. Dan jika kamu memutar balikan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi,
maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”.
Inilah ketentuan al-Qur`an yang telah
dilaksanakan oleh Rasulullah SAW dan para Khulafa ar-Rasyidin, sehingga sistem
peradilan yang baik dan sehat terwujud. Pada awal era kekhalifahan belum
terdapat pemisahan antara badan eksekutif dan yudikatif. Namun, pada masa
pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, beliau telah memisahkan lembaga
peradilan secara keseluruhan dari institusi-institusi negara, serta pada saat
itu ia membentuk kantor pengadilan di setiap wilaya. Pengadilan yang
diselenggarakan bebas biaya bagi para pencari keadilan. Khalifah Umar tidak
segan-segan membawa para gubernurnya ke meja pengadilan para gubernurnya
terhadap kasus gugatan dan pengaduan yang diajukan rakyatnya.
Selain itu, upaya penegakan keadilan yang
pernah dilakukan oleh Umar bin Khattab adalah ketika Umar bin Khattab
menyelengarakan sebuah pertemuan besar yang dihadiri oleh pejabat dan rakyatnya
di kota Madinah al-Munawwaroh seraya ia berpidato: Para pejabat ditunjuk untuk
tidak menganiaya atau merampas harta bendamu, melainkan mereka ditunjuk untuk untuk melindungimu dan
mengayomimu, sesuai dengan ajaran al-Qur`an dan Sunnah Raulullah SAW. Oleh
karena itu, jika ada pejabat yang berlaku zalim, maka beritahukanlah kepadaku
sehingga aku dapat memperbaikinya.
8.
Hak untuk medapatkan tempat tinggal.
Islam memandang bahwa bertempat tinggal
merupakan hak asasi dalam kehidupan manusia yang sangat urgen. Sehingga
seseorang dapat beristirahat di rumah kediamannya yang akan mendatangkan
kebahagiaan dan kesejahteraan bagi dirinya, anak-isterinya, dan para keluarganya.
Ibn Hazm berpendapat : jika seseorang tidak mempunyai rumah kediaman dan tempat
tinggal yang jelas, maka menjadi sebuah kewajiban bagi pihak yang kaya (agniya)
untuk membangunkan tempat pemukiman mereka yang dhu`afa (yang lemah
ekonomi). Bahkan menurut Ibn Hazam sebagai juga yang dikemukakan oleh Ibrahim
al-Lubban, keduanya berpendapat: kewajiban bagi negara untuk mengadakan tempat
pemukiman bagi warga negaranya yang miskin, dengan tidak membedakan suku,
bangsa, ras san agama.
Beberapa argumen yang diajukan, adalah QS. 17
(al-Isra):26, yaitu:
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang
dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan
janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros”.
Selain itu, secara khusus Allah SWT memberikan
perlakuan khusus terhadap kelompok orang-orang miskin untuk dibantu dan
disantuni oleh kalangan yang mampu, sehingga status sosialnya terangkat. Hal
tersebut telah dikemukakan oleh Allah SWT pada QS.4 (an-Nisa) :36, yaitu:
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu
bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat
dan tetangga yang jauh, teman sejawat, Ibn sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri”.
Di samping itu, secara tegas Allah SWT
mengancam terhadap orang kaya yang tidak peduli dan acuh tak acuh kepada nasib
kelompok orang miskin, baik yang berkait dengan perhatian kepada sandang,
pangan dan tempat tinggalnya. Sebagaimana telah dikemukakan pada QS.74
(al-Mudatstsir):42-44, yaitu:
(42). Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)? (43). Mereka
menjawab: ”Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat.
(44). Dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin.
Selain itu, Rasulullah SAW memperkuat dalam
sabdanya yang bersumber dari Anas bin Malik: Barang siapa yang tidak
menyayangi, dia tidak akan disayangi oleh Allah SWT (HR. Abu Daud dan an-Nasa`i.
Simpulan
Dari pembahasan mengenai Hak Asasi Manusia di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa Islam itu adalah
agama yang asy-syumul (lengkap). Ajaran Islam meliputi seluruh aspek dan sisi
kehidupan manusia.Islam memberikan pengaturan dan tuntunan pada manusia, mulai
dari urusan yang paling kecil hingga urusan manusia yang berskala besar. Dan
tentu saja telah tercakup di dalamnya aturan dan penghargaan yang tinggi
terhadap HAM. Memang tidak dalam suatu dokumen yang terstruktur, tetapi tersebar
dalam ayat suci Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw. Hak Asasi Manusia telah di atur
dalam Al-Qur’an dan Hadist dan umat islam harus benar-benar mengetahui hak-hak
yang diberikan kepadanya dan menggunakan haknya tersebut sebaik-baiknya selama
tidak bertentangan dan melanggar hak orang lain.
Penghadapan antara hukum Islam dan hak-hak
asasi manusia universal memang telah melahirkan persoalan sendiri bagi umat
Islam. Sangat wajar apabila kemudian muncul wacana yang beragam dalam
meresponnya. Sebagian menaggapinya dengan sikap skeptik sekaligus konservatif,
tetapi di pihak lain secara optimistik menyatakan bahwa hukum Islam sangat
kompatibel dengan hak-hak asasi manusia universal meskipun secara konseptual
hal itu datang dari dunia Barat.
Dalam
Islam, selain Hak Asasi Manusia (HAM) ada Kewajiban Asasi Manusia (KAM) yang
harus dijunjung tinggi. Sehingga hukum yang sejatinya merupakan pengikat,
pengantur dan pengontrol masyarakat dapat berjalan seimbang, selaras dan sesuai
dengan tujuan kemaslahatan umat.
DAFTAR PUSTAKA