Ranah
Hermeneutika Dan Korelasinya Dengan Linguistik
Oleh:
Rizqi Fauzi Yasin, M.Pd.I
A.
Pendahuluan
Hermeneutika adalah kata yang sering didengar dalam bidang teologi,
filsafat, bahkan sastra. Hermeneutika baru muncul sebagai sebuah gerakan
dominan dalam teologi Protestan Erofa, yang menytakan bahwa hermenutika
merupakan “titik fokus” dari isu-isu teologis sekarang. Hermeneutika
sebagai metode manafsirkan teks yang semakin digandrungi dalam kancah intelektual
negri kita memang memperlihatkan suatu “potensi kritis” yang sangat diperlukan
di dunia kontemporer ini.
Hermeneutika juga memiliki korelasi atau hubungan dengan disiplin
ilmu-ilmu lainnya seperti hermeneutika
dan lingusitik, hermeneutika dan epistimulogi, hermeneutika dan ilmu logika dan
ilmu-ilmu yang lainnya. Maka pada makalah ini penulis akan membahas mengenai
tentang ranah dan korelasi hermeneutika pada lingustik.
B.
Pengertian
Hermeneutika
Hermeneutika secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu teori
atau filsafat tentang interpretasi makna.
Kata hermeneutika itu sendiri berasal dari kata kerja Yunani hermeneuien, yang
memiliki arti menfsirkan, menginterpretasiakan atau menerjemahkan.
Jika asal hermeneutika dirunut, maka kata tersebut merupakan
derivasi dari kata Hermes, seorang dewa dalam mitologi Yunani yang bertugas
menyampaikan dan menjelasakan pesan pesan (message) dari sang Dewa kepada
manusia. Menurut versi lain dikatakan bahwa Hermes adalah seorang utusan yang
memiliki tugas menyampaikan pesan Yupiter kepada manusia. Tugas utama Hermes –
yang digambarkan sebagai seseorang yang memiliki kaki bersayap dan lebih
dikenal dengan sebutan Mercusiur- adalah menerjamahkan pesan-pesan dari gunung
Olimpus kedalam bahasa yang dapat dimengrti oleh manusia.
Oleh karenanya, Hermes harus mampuh menginterpretasikan atau menerjamahkan
sebuah pesan kedalam bahasa yang dipergunakan oleh pendengarnya. Sejak saat
itulah Hermes menjadi simbol seorang duta yang dibebani dengan sebuah misi
tertentu.
Secara teologis peranan Hermes ini bisa dinisbatkan sebagaimana
peran Nabi utusan Tuhan. Sayyed Hossein Nashr memiliki hipotesis bahwa Hermes
tersebut tidak lain adalah Nabi Idris a.s., yang disebut dalam al-Qur’an,
dan dikenal sebagia manusia pertama yang mengetahui tulisan, teknologi tenun,
kedokteran, astrologi dan lain-lain. Menurut riwayat yang beredar dilingkungan
pesantren, Nabi Idris adalah orang yang ahli dibidang pertenunan( tukang tenun/
memintal). Sedangkan dilingkungan agama Yahudi Hermes dikenal sebagai Thoht,
yang dalam mitologi Mesir dikenal dengan
Nabi Musa a.s.
Bagi Nabi Idris atau Hermes, persoalan krusial yang harus
diselesaikan adalah bagaimana menafsirkan pesan Tuhan yang berbicara dengan
bahasa “langit” dapat dipahami oleh manusia yang berbahasa “bumi”. Dari sini
makna metaforis dari profesi tukang tenun/ memintal muncul, yaitu memintal atau
merangkai kata Tuhan agar dapat ditangkap dan mudah dipahami oleh manusia.
Dengan demikian, kata
hermenutika yang diambil dari peran Hermes adalah sebuah ilmu atau seni
mnginterpretasikan (The art of interpretation) sebiah teks. Sebagai sebuah
ilmu, hermeneutika harus menggunakan cara-cara ilmiah dalam mencari makna,
rasional dan dapat diuji. Sebagai sebuah seni, ia harus menampilkan sesuatu
yang baik dan indah tentang sesuatu penafsiran.
C.
Sejarah
Hermeneutika
Kajian hermeneutika sejak abad 19 (atau akhir abad 18) telah
menemukan bentuknya yang baru dari wajah hermeneutika sebelumnya. Secara
priodik hermeneutika dapat dibedakan dalam tiga fase; klasik, pertengahan,
dan modern. Hermeneutika klasik, lebih bercorak pada bentuk interpretasi
teks dan art of interpretation’. Dan istilah ini pertama kali muncul pada abad
ke XVII. Tetapi hermeneutika dalam arti sebagai aktivitas penafsiran telah
lahir jauh sebelumnya, usianya setua dengan eksegesis teks.
Hermeneutika pertengahan, dimulai pada, dianggap berasal dari, penafsiran
terhadap Bible yang menggunakan empat level pemaknaan baik secara literal,
allegoris, tropologika (moral), dan eskatologis. Tetapi pada masa reformasi
protestan, empat pemaknaan itu kemudian disempitkan pada eksegesis literal atau
grametikal dan eksesegesis studi tentang Yahudi dan Yunani. Dan hermeneutika
modern, dapat dibedakan dalam beberapa fase dengan aliran-aliran yang
mengikutinya. Fase awal mulai abad ke 19 dengan merujuk pada tokoh protestan
ternama, Friedrich Schleirmacher (1768-1834) dan murid-muridnya termasuk Emilio
Betti, dengan teori hermeneutiknya. Fase kedua, pada abad ke-20 dengan
Martin Heidegger (1889-1976) sebagai tokohnya, termasuk disi Hans-George
Gadamer dengan aliran Filsafat hermeneutik, dan terakahir adalah Jurgen Habermas, dengan hermeneutik
kritiknya.
D.
Ranah
Hermeneutika
Apa ranah dan tema kajian hermeneutik? Sebagian memberi jawaban
sederhana: Hermeneutik merupakan tradisi berfikir dan kontemplasi filosofis
yang mengupayakan penjelasan tentang konsepsi dan pemahaman (fahm, verstehen,
understanding) dan memberikan solusi terhadap persoalan tentang faktor-faktor
yang mengakibatkan hadirnya makna bagi segala sesuatu. Segala sesuatu ini bisa
berupa syair, teks-teks hukum, perbuatan manusia, bahasa, atau kebudayaan dan
peradaban asing.
Pengenalan masalah “pemahaman” sebagai sebuah ranah, tema, dan
batasan pengkajian hermeneutik akan menghadapkan pada dua dilema asasi, pertama
adalah bahwa pemahaman dan persepsi itu dibahas dalam berbagai disiplin yang
berbeda dan memiliki fungsi pada banyak cabang-cabang pengetahuan.
Epistemologi (theory of knowledge), filsafat analisis, dan filsafat
klasik (metafisika) adalah bidang-bidang ilmu yang juga mengkaji
masalah-masalah pemahaman dan persepsi ini dalam sudut pandang tertentu. Dengan
demikian, pertama-tama harus diketahui dengan jelas bahwa dari sudut pandang
mana disiplin hermeneutik memandang permasalahan pemahaman dan persepsi itu
yang membedakannya dengan disiplin ilmu-ilmu lainnya.
Kedua, aliran-aliran berbeda yang terdapat dalam disiplin
hermeneutik sendiri memiliki perspektif yang berbeda-beda terhadap persoalan
pemahaman dan persepsi itu. Akan tetapi, adanya kesamaan konsepsi yang sedikit
terhadap persoalan tersebut sama sekali tidak bisa dijadikan patokan terhadap
tema dan penjelas batasan pembahasan bagi hermeneutik, karena masing-masing
aliran pemikiran itu mengkaji tujuan-tujuan khusus dimana tujuan khusus inilah
yang lantas menyebabkan perbedaan tema dan ranah pembahasannya.
Sebagai contoh, seseorang yang memandang pemahaman itu dari sudut
pandang fenomenologikal, maka dalam hermeneutiknya mustahil ia berupaya
menemukan dan menegaskan suatu metode untuk memisahkan antara pemahaman yang
benar dan yang keliru.
Yang jelas seorang seperti Wilhelm Dilthey mengarahkan tujuan itu
demi menggapai humaniora yang valid dan benar. Dengan memandang hermeneutik
sebagai metodologi, diharapkan refleksi-refleksinya, pada puncaknya, akan
menghadirkan suatu metode umum untuk keseluruhan humaniora.
Yang pasti, aliran-aliran hermeneutik mengkaji tema pemahaman itu,
yang satu membahas kemutlakan pemahaman dari aspek fenomenologikal, yang lain
menjelaskan hakikat dan syarat-syarat wujud kehadiran pemahaman, aliran dari
mengkajinya dari sisi ruang-waktu dan sejarah, dan yang lainnya meneliti
pemahaman dunia internal-kejiwaan individu dan pikiran-pikiran setiap manusia
lewat peninggalan-peninggalan seni dan literatur-literatur, dan berupaya
mencipta suatu metode yang valid dan akurat untuk memahami pikiran-pikiran
individu dan kehidupan internal-kejiwaan setiap manusia.
Dua perspektif dalam masalah pemahaman ini, dengan tidak memandang
perbedaan dalam ruang lingkup kajian pemahaman, yang satu menunjuk pada
pemahaman secara mutlak dan yang lainnya menyibak pemahaman kehidupan
internal-kejiwaan manusia. Dua tema pembahasan ini tidak bisa dipungkiri
memiliki perbedaan dan tidak bisa dikatakan bahwa aliran-aliran hermeneutik
membahas semua persoalan tersebut secara merata dan komprehensif.
Lahirnya kajian hermeneutik filosofis yang dipelopori oleh Martin
Heidegger di abad keduapuluh Masehi dan pengembangan ranah pembahasannya
ditangan Hans-Georg Gadamer melahirkan pengaruh yang cukup besar pada
cabang-cabang ilmu, seperti kritik literatur, metodologi, teologi, dan
ilmu-ilmu sosial.
Sebagian menyangka bahwa domain pembahasan hermeneutik adalah sama
dengan tema hermeneutik filosofis, yakni refleksi filosofis dan fenomenologikal
dalam substansi pemahaman dan syarat-syarat eksistensial kehadirannya. Yang
paling keliru adalah orang yang menyangka bahwa satu-satunya ranah pengkajian
yang mungkin bagi hermeneutik adalah sebagaimana pandangan-pandangan para
filosof Jerman terhadap hermeneutik dan tradisi-tradisi hermeneutik di Jerman
pada abad keduapuluh.
Pada dasarnya, hermeneutik filosofis terkait secara horizontal
dengan pembahasan-pembahasan universal hermeneutik yang senantiasa kita
butuhkan dan tidak ada jalan lain kecuali harus membahasnya. Kita menerima
semua pemikiran penafsiran tentang pemahaman teks atau setiap kecenderungan
dalam kritik literatur atau memilih pembahasan tentang filsafat humaniora yang
ada pada setiap maktab. Kita tidak mungkin menolak dan memungkiri keberadaan
pengkajian tentang substansi pemahaman manusia dan analisis hakikat wujudnya.
Akan tetapi, makna dari ungkapan di atas tidaklah membatasi ruang
lingkup pembahasan hermeneutik pada garis horizontal itu. Sebagai contoh, kita
bisa memperluas tema itu pada kategori penafsiran dan pemahaman teks serta
terus mengajukan teori-teori penafsiran baru dalam kategori pemahaman teks.
Pengajuan teori-teori baru ini tidak masuk dalam wilayah dan koridor pengkajian
hermeneutik filosofis, akan tetapi tergolong dalam tema perumusan dan
pengkajian hermeneutik.
Tidak terdapat alasan yang tepat bagi kita untuk membatasi
hermeneutik hanya pada tema pengkajian hermeneutik filosofis yang meliputi
maktab Jerman dan Perancis, atau hanya pada maktab Jerman saja yakni perspektif
Heidegger dan Gadamer.
Tentang ranah hermeneutik dan ketidaklogisan pembatasan domainnya
hanya pada hermeneutik filosofis, Richard E. Palmer menyatakan bahwa kita bisa
menunjuk tiga kategori yang berbeda secara ekstrim dalam wilayah hermeneutik,
ketiga kategori tersebut antara lain: Hermeneutik regional (khusus) merupakan
bentuk hermeneutik yang pertama kali ditetapkan sebagai suatu disiplin ilmu.
Pada kategori ini, dengan maksud merumuskan kualitas penafsiran teks-teks,
dibentuk kumpulan dari kaidah-kaidah dan metode-metode untuk setiap
cabang-cabang ilmu dan pengetahuan, seperti ilmu hukum, linguistik, kitab-kita
suci, dan filsafat.
Dan setiap ilmu itu memiliki kumpulan kaidah dan dasar penafsiran
yang khusus untuknya. Berdasarkan hal ini, setiap ilmu memiliki hermeneutik
tersendiri yang khusus berhubungan dengan ilmu tersebut.
Dengan dalil ini, masing-masing hermeneutik ini berkaitan erat
dengan suatu tradisi pemikiran dan ilmiah tertentu. Seperti dari setiap
hermeneutik yang mengajarkan metode tafsir teks-teks suci tak akan digunakan
dalam penafsiran teks-teks literatur klasik. Hermeneutik
umum yang berfungsi menetapkan metode pemahaman dan penafsiran. Hermeneutik ini
tidak dikhususkan untuk ilmu tertentu, melainkan diterapkan untuk semua cabang
ilmu-ilmu tafsir. Kehadiran jenis hermeneutik ini dimulai pada abad
kedepanbelas dan orang pertama yang menyusun secara sistimatik adalah teolog
Jerman bernama Schleiermacher (1768-1834 M).
Kaidah-kaidah
dan dasar-dasar umum hermeneutik ini menjadi tolok atas pemahaman teks, dengan
tidak memandang latar belakang teks itu. Para ahli hermeneutik mesti berusaha
menyusun dan menetapkan kaidah-kaidah umum tersebut.
Upaya Wilhelm Dilthey semestinya berada pada wilayah ini, karena ia
menekankan ilmu manusia secara mutlak, namun, asumsinya sangat sesuai dengan
asumsi para pengkritik hermeneutik umum. Dilthey mempunyai perspektif bahwa
segala prilaku, perkataan, dan karya-karya tulis manusia mewakili kehidupan
pikiran dan internal-kejiwaan mereka.
Dan semua ilmu manusia seharusnya diarahkan dalam pencarian dan
penyingkapan kehidupan internal-kejiwaan manusia sebagai pemiliki perbuatan dan
karya-karya tulis, dan masalah bisa menjadi suatu kaidah, aturan, metode umum
dan universal. Dan tujuan utama keberadaan hermeneutik adalah menyusun dan
menetapkan kaidah dan metode ini, yakni menghadirkan secara pasti dan benar
suatu metodologi yang menjadi mizan bagi ilmu manusia.
Hermeneutik filosofis yang berupaya menganalisa secara filosofis
fenomena pemahaman itu. Oleh sebab itu, tidak terdapat kecenderungan dalam
hermeneutik ini untuk berusaha menghadirkan suatu metode, dasar, dan kaidah
yang bisa menjadi tolok ukur atas pemahaman dan penafsiran, baik itu metode
yang terkait dengan pemahaman teks atau dalam humaniora secara umum. Namun,
apabila kita mencermatinya, jenis hermeneutik ini bukan hanya peduli terhadap
adanya ketetapan satu metode, bahkan senantiasa menggugat metodologi dan
menyanggah suatu pernyataan yang berbunyi, “Lewat penetapan metode bisa
mencapai hakikat”.
Dengan memperhatikan tiga kategori berbeda yang tersebut di atas,
kita tak mungkin mengkhususkan tema hermeneutik itu kepada salah satu dari
ketiga kategori itu. Ketidakmungkinan ini karena ketiga kategori tersebut di
bawah cakupan hermeneutik, dengan demikian, tak logis jika tema hermeneutik
hanya berkaitan dengan salah satu dari ketiga kategori atau perspektif itu,
misalnya hanya menekankan pada hermeneutik filosofis. Dengan realitas seperti
ini, arus hermeneutik dalam semua aspek dan bidang ilmu akan senantiasa
berlanjut.
E.
Hermenutika
Dan Bahasa
Pada prinsipnya, hermeneutika berkaitan dengan bahasa.
Setiap kegiatan manusia yang berkaitan dengan berpikir, berbicara, menulis dan
menginterpretasikan selalu berkaitan dengan bahasa. Realitas yang masuk dalam
semesta perbincangan manusia selalu sudah berupa realitas yang terbahasakan,
sebab manusia memahami dalam bahasa. (Bdk. Heidegger: Language is the house
of Being). Kata-kata sebagai satuan unit bahasa terkecil yang memiliki
makna, selalu merupakan penanda-penanda yang kita berikan pada realitas.
Pemberian penanda itu sendiri sudah selalu berupa penafsiran. Oleh karena
itulah, persoalan filsafat abad ke-20 ini selalu terkait dengan persoalan
bahasa. Masalah pemahaman adalah masalah tekstual, artinya begitu kita mau
memahami realitas, ia sebenarnya sedang menafsirkan sebuah “teks”: “teks” itu sendiri
selalu realitas. Bahkan Derrida secara
radikal menyatakan bahwa “everything is text and there is nothing beyond the
text”.
Melalui bahasa orang berkomunikasi, namun dengan bahasa pula
seseorang bisa salah paham dan salah tafsir. Dengan kata lain, hidup ini tidak
terlepas dari aktifitas bahasa. H.G Gadamer menyatakan bahwa bahasa merupakan
modus operanding dari cara berada manusia di dunia dan juga merupakan wujud
yang seolah-olah merangkul seluruh konstitusi tentang dunia ini.
Bahkan Martin Heidegger mengatakan bahwa semua pemahaman (verstehen) bersifat
kebahasaan, intensional dan historikal.
Berbahasa selalu mengandaikan adanya dua dimensi: internal dan
eksternal. Dimensi internal adalah situasi psikologis dan kehendak berfikir
(intensi). Sedangkan dimensi eksternal adalah tindakan menafsirkan dan
mengekpresikan kehendak batin dalam bentuk wujud lahir, yaitu kata-kata yang
ditunjukan kepada “orang lain”.
Kerena berbahasa selalu melibatkan penafsiran kehendak batin, maka tidaklah
semua yang kita ucapkan senantiasa berhasil mempresentasikan seluruh isi hati,
pikiran, dan benak kita. Oleh kerenanya, kebenaran sebuah bahasa bukan semata
terletak pada susunan grametikalnya saja, tetapi juga pada tata pikir, intensi
dan implikasi dari sebuah ucapan.
Melihat Kompleksiatas kaitan
antara pikiran, perasaan, ucapan, dan tindakan, maka disadari atau tidak,
setiap saat orang selalu berada dalam dunia penafsiran (proses untuk mengerti).
Hermeneutika adalah cara baru untuk “bergaul” dengan bahasa. Jika “mengeti”
selalu dikaitkan dengan bahasa –dengan berbagai kompleksitasnya-, maka bahasa
juga membatasai dirinya sendiri. Namun, semua buah pikiran orang harus
diungkapkan dengan bahasa yang ada sesuai dengan tata bahasa yang berlaku.
Dengan demikian, urgensi hermeneutika dan penerapannya cukup luas
pada ilmu-ilmu kemanusiaan (Geisteswissenchaften) atau ilmu pengetahuan tentang
kehidupan (Life science); sejarah, hukum, agama, filsafat, seni, kesusastraan,
ligusitik dan sebagainya. Jika
pengalaman manusia yang diungkapkan dalam bentuk behasa tampak asing bagi
pembaca (audience), maka perlu untuk ditafsirkan secara benar. Disinilah
hermeneutika memiliki peran yang sangat besar.
F.
Hermeneutik
dan Linguistik
Linguistik adalah salah satu disiplin ilmu manusia yang tertua. Hal
ini karena bahasa itu merupakan rukun-rukun penting dan urgen dalam kehadiran
konsepsi dan transaksi pemikiran serta komunikasi sosial. Berdasarkan realitas
ini, bahasa senantiasa menjadi tema dan ranah pembahasan teoritis para pemikir.
Pilologi, aturan-aturan bahasa, makna-makna, dan estetika bahasa merupakan
kajian-kajian klasik bahasa.
Dalam era modern, terdapat kecenderungan-kecenderungan baru di
wilayah penelitian bahasa yang berpuncak pada kehadiran filsafat analisis
bahasa yang memandang segala pengkajian filosofis itu mesti berangkat dari
observasi linguistik dan fungsinya.
Pada sisi lain, hermeneutik juga berurusan dengan teks-teks,
sementara bahasa merupakan pembentuk teks. Dengan demikian, hermeneutik juga
memandang penting masalah-masalah linguistik. Gagasan ini, juga terlontar dalam
hermeneutik klasik dan hermeneutik modern, yang terkhusus sangat ditekankan
pada hermeneutik Gadamer.
Menurut Gadamer, bahasa itu bukan hanya sebagai media penyaluran
pemahaman, melainkan pembentuk suatu pemahaman. Dengan ibarat lain, hakikat dan
substansi pemahaman itu adalah bahasa. Berdasarkan gagasan ini, ilmu
hermeneutik mempunyai hubungan erat dengan linguistik beserta cabang-cabang dan
metode-metodenya yang beragam.
Namun masing-masing ilmu tersebut merupakan disiplin-disiplin ilmu
tertentu yang mempunyai tema, ranah, metode, dan tujuan-tujuan khusus. Pada
hakikatnya, bisa dikatakan bahwa ilmu hermeneutik itu mengambil manfaat dari
pembahasan linguistik. Begitu pula linguistik, khususnya pengkajian yang
merumuskan fungsi, kaidah, dan kerangka bahasa, sangatlah terkait dengan ilmu
hermeneutik, khususnya penerapan hukum dan kaidah bahasa.
Kenyataan ini sebagaimana hubungan hermeneutik dengan ilmu logika,
yakni hermeneutik tidak mungkin melepaskan dan memisahkan dirinya dari
penggunaan metode-metode umum logika dan berpikir.
Daftar Fustaka
Fowler, Roger, 1987, A Dictionary Of Modern Critical Term, London
and New York: Routledge & Kegan Paul.
Hidayat,
Komaruddin, 1996, Memahami Bahasa Agama; sebuah kajian Hermeneutika, Jakarta:
Paramadina.
Izzan, Ahmad, 2011, Metode Pembelajaran Bahasa Arab,
Cetakan keempat, Bandung: Humaniora
Nashr, Sayyed Hossen ,1989, Knowledge
and The Sacred, New York : State university Press
W.
Pespoprodjo,1987, Interpretasi, Bandung:
Remaja Karya